Harga minyak mentah kembali melanjutkan pelemahan setelah laporan terbaru menunjukkan adanya kemajuan dalam pembicaraan damai antara Rusia dan Ukraina. Sentimen ini memicu pergeseran besar dalam ekspektasi pasar terhadap risiko geopolitik yang selama ini menjadi penopang harga minyak. Ketika peluang resolusi konflik meningkat, ketakutan pasar terhadap gangguan pasokan energi Eropa dan global mulai berkurang drastis. Alhasil, harga crude oil—baik WTI maupun Brent—tertekan oleh ekspektasi oversupply dan normalisasi distribusi energi.
1. Sentimen Damai Meredakan Kekhawatiran Pasokan Global
Kabar bahwa Rusia dan Ukraina kembali membuka jalur komunikasi diplomatik menciptakan optimisme baru di pasar energi. Sentimen ini membuat pelaku pasar menilai bahwa risiko geopolitik yang sebelumnya menopang harga minyak mulai memudar. Jika ketegangan mereda, kekhawatiran atas gangguan rantai pasok di wilayah Laut Hitam dan jalur pipa menuju Eropa otomatis menjadi lebih kecil. Hal ini mengurangi premi risiko yang selama ini membuat harga minyak volatil. Para analis juga mencatat bahwa pasar energi sangat sensitif terhadap perkembangan konflik, sehingga rumor damai sekalipun bisa memiliki dampak signifikan terhadap harga. Reaksi pasar yang langsung mendorong aksi jual menunjukkan bahwa pelaku pasar sudah mulai mengantisipasi penurunan jangka pendek.
2. Potensi Peningkatan Ekspor Rusia Tekan Ekspektasi Harga
Jika proses damai berjalan positif, kemungkinan besar Rusia akan meningkatkan ekspor minyak dan produk energi lainnya. Negara tersebut masih menjadi salah satu pemasok terbesar dunia, sehingga peningkatan pengiriman dapat memperbesar surplus pasokan. Penambahan volume ekspor ini diperkirakan dapat menciptakan tekanan signifikan pada harga, terutama jika terjadi berbarengan dengan lemahnya permintaan global. Investor kini memperhitungkan skenario bahwa pasokan minyak Rusia dapat kembali mengalir lebih lancar ke pasar Asia dan Eropa. Kondisi ini membuat pasar bersiap pada lingkungan oversupply, terutama untuk kuartal akhir 2025. Tak heran, setiap berita terkait perundingan damai langsung berdampak bearish terhadap harga crude oil.
3. Permintaan Tiongkok & Eropa Tetap Lesu
Walaupun ada potensi peningkatan dari sisi pasokan, masalah utama saat ini justru berada pada lemahnya permintaan energi global. Tiongkok masih berjuang menghadapi perlambatan sektor industri dan konsumsi domestik yang belum pulih sepenuhnya. Sementara itu, Eropa menghadapi tekanan ekonomi dari inflasi tinggi dan penurunan aktivitas manufaktur. Kedua wilayah tersebut merupakan kontributor utama permintaan minyak dunia, sehingga melemahnya konsumsi berdampak signifikan terhadap harga. Banyak pelaku pasar menyebut kondisi ini sebagai “double pressure”: pasokan meningkat sementara permintaan stagnan. Dalam situasi seperti ini, harga minyak cenderung sulit kembali naik kecuali ada katalis besar.
4. Fokus Bergeser ke Data Stok Minyak Amerika Serikat
Dengan adanya potensi ketenangan geopolitik, perhatian pasar kini sepenuhnya tertuju pada data persediaan minyak AS. Jika laporan EIA minggu ini menunjukkan peningkatan stok lebih tinggi dari perkiraan, maka tekanan bearish kemungkinan semakin kuat. Amerika Serikat sendiri telah meningkatkan produksi shale oil, sehingga stok yang melimpah akan menambah kekhawatiran pasar tentang oversupply. Banyak trader kini menilai bahwa data inventori menjadi penentu arah jangka pendek bagi WTI. Selain itu, permintaan bensin AS yang mulai melandai di akhir musim dingin menjadi faktor tambahan. Jika dua faktor ini bertemu, WTI bisa bergerak lebih rendah dari level-level teknikal penting.
5. WTI Bertahan di Bawah US$60: Level Psikologis Kembali Diuji
Harga WTI saat ini kembali berada di bawah level US$60, yang sering dianggap sebagai batas psikologis penting oleh pelaku pasar. Pertahanan di zona ini menentukan apakah tren bearish akan semakin panjang atau justru memicu rebound kecil. Para analis teknikal melihat area US$59–60 sebagai titik kritis yang menentukan arah harga jangka pendek. Jika tekanan jual terus meningkat, WTI berpotensi menguji area US$57–58. Sebaliknya, jika ada sentimen positif dari data ekonomi AS atau penurunan stok besar, rebound ke US$61–62 masih mungkin. Namun secara keseluruhan, momentum bearish masih dominan.
6. Ketidakpastian Politik Eropa & Kebijakan Energi Jadi Penentu Lanjutan
Walaupun rumor damai memberi sentimen positif, pasar belum sepenuhnya yakin bahwa konflik Rusia–Ukraina akan segera berakhir. Negara-negara Eropa masih membahas kebijakan energi untuk menghadapi musim dingin dan potensi fluktuasi permintaan. Selain itu, kebijakan sanksi energi terhadap Rusia juga menjadi pertimbangan besar—apakah akan dilonggarkan atau tetap diperketat. Ketidakpastian politik ini menciptakan ruang volatilitas bagi harga minyak dalam beberapa hari ke depan. Para investor juga memantau langkah-langkah transisi energi yang semakin dipercepat di Eropa. Kombinasi antara faktor geopolitik dan kebijakan energi menjadikan pasar minyak sangat sensitif terhadap setiap berita baru.